Apa Itu Tiket Dinamis Piala Dunia 2026 – Piala Dunia selalu jadi ajang yang paling ditunggu-tunggu oleh pecinta sepak bola dari seluruh penjuru dunia.
Euforia mendukung tim nasional favorit, atmosfer stadion yang meriah, hingga kesempatan menyaksikan langsung para pemain bintang di lapangan hijau—semua jadi alasan mengapa tiket Piala Dunia selalu diburu habis-habisan.
Namun, Piala Dunia 2026 yang bakal digelar di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko datang dengan kabar baru yang cukup bikin kaget.
Untuk pertama kalinya, FIFA memperkenalkan sistem tiket dinamis atau dynamic pricing. Di satu sisi, sistem ini terlihat modern dan “mengikuti zaman”.
Tapi di sisi lain, banyak pihak menilai kebijakan ini bisa merugikan para suporter, terutama mereka yang datang dari kalangan pekerja dan penggemar fanatik yang rela menabung bertahun-tahun demi menyaksikan langsung aksi di stadion.
Lantas, sebenarnya apa itu tiket dinamis Piala Dunia 2026 dan mengapa merugikan suporter? Yuk, simak ulasan berikut ini.
Apa Itu Tiket Dinamis Piala Dunia 2026 dan Mengapa Merugikan Suporter?
1. Mirip dengan Harga Tiket Pesawat atau Hotel
FIFA resmi mengadopsi sistem harga tiket dinamis yang mirip dengan mekanisme di industri penerbangan atau perhotelan. Artinya, harga tiket tidak lagi bersifat tetap, melainkan bisa naik turun sesuai permintaan pasar.
Jika permintaan tinggi—misalnya untuk laga final atau pertandingan yang melibatkan tim besar seperti Brasil, Argentina, atau tuan rumah Amerika Serikat—harga tiket bisa melonjak jauh di atas harga dasar. Sebaliknya, jika peminat rendah, harganya bisa lebih murah.
Proses distribusi tiket juga dipecah menjadi beberapa fase. Mulai dari undian prapenjualan khusus pemegang kartu Visa, undian reguler, hingga sistem first-come-first-served.
Bahkan ada platform resmi untuk penjualan kembali tiket. Bedanya, di Amerika Serikat dan Kanada tidak ada batasan harga untuk tiket resale, sehingga penjual bisa menentukan harga setinggi mungkin.
Sedangkan di Meksiko, aturan pemerintah lebih ketat: tiket penjualan kembali harus sesuai dengan harga awal.
Kebijakan yang berbeda di setiap negara penyelenggara ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi penonton.
2. Strategi FIFA Meraup Pendapatan Besar
Di balik sistem baru ini, FIFA punya alasan finansial. Mereka menyebut penerapan tiket dinamis sebagai bentuk adaptasi terhadap budaya pasar Amerika Utara, di mana harga tiket olahraga atau konser biasanya memang fleksibel mengikuti permintaan.
Tapi kenyataannya, strategi ini jelas berorientasi bisnis. FIFA menargetkan pendapatan lebih dari 3 miliar dolar AS (sekitar Rp49,3 triliun) hanya dari penjualan tiket dan paket hospitality di Piala Dunia 2026.
Jumlah ini jauh lebih besar dibanding edisi-edisi sebelumnya, apalagi jumlah pertandingan juga bertambah menjadi 104 laga di 16 kota berbeda.
Menariknya, sebelum tiket resmi dijual, FIFA sudah meraup untung lewat digital token bernama Right to Buy (RTB) di platform FIFA Collect.
Token ini hanya memberi hak membeli tiket (bukan tiketnya sendiri) dan sudah menghasilkan puluhan juta dolar.
Kritikan pun bermunculan karena FIFA dianggap semakin mengomersialisasi akses ke Piala Dunia dan “mematikan” pasar sekunder demi keuntungan semata.
3. Apa Itu Tiket Dinamis Piala Dunia 2026: Kebijakan Dinilai Tidak Berpihak kepada Suporter Kelas Menengah
Banyak pihak menilai sistem tiket dinamis ini bakal semakin menjauhkan Piala Dunia dari para penggemar sejati.
Suporter kelas menengah atau pekerja mungkin akan kesulitan menjangkau harga tiket, apalagi jika harus bersaing dengan pembeli dari kalangan atas yang rela membayar berapa pun.
Protes publik sudah mulai bermunculan, terutama di Amerika Serikat. Salah satunya datang dari Zohran Mamdani, calon wali kota New York, yang membuat petisi “Game Over Greed” untuk menentang kebijakan tiket dinamis.
Petisi tersebut menuntut FIFA menyediakan 15 persen tiket bersubsidi bagi warga lokal serta membatasi harga tiket resale.
Selain itu, kelompok advokasi Football Supporters Europe (FSE) juga melayangkan surat protes resmi kepada FIFA.
Mereka menilai sistem ini tidak adil bagi fans yang sudah berkorban finansial demi mengikuti tim nasional mereka.
Bagi banyak suporter, datang ke Piala Dunia adalah impian sekali seumur hidup—tapi impian itu bisa pupus karena harga tiket yang tak masuk akal.
Kejadian serupa juga sering terjadi di dunia musik. Dari konser Oasis hingga drama tiket konser Taylor Swift, publik berkali-kali menolak sistem harga dinamis karena merasa diperlakukan tidak adil ketika harga tiket melonjak drastis hanya dalam hitungan jam.
Piala Dunia seharusnya menjadi pesta sepak bola dunia, tempat di mana semua kalangan bisa berkumpul dan merasakan euforia yang sama.
Sayangnya, kebijakan tiket dinamis ini justru dikhawatirkan menjadikan turnamen tersebut sebagai tontonan eksklusif bagi kalangan berduit saja.
Kalau FIFA tidak menemukan cara untuk menyeimbangkan keuntungan finansial dengan aksesibilitas bagi para suporter, maka semangat kebersamaan yang menjadi roh Piala Dunia bisa memudar.
Pertanyaannya sekarang, apakah Piala Dunia 2026 akan benar-benar jadi festival rakyat, atau justru berubah menjadi ajang bisnis yang hanya dinikmati oleh segelintir orang?